Minggu, 20 Mei 2018

KONSERVASI ARSITEKTUR


KONSERVASI ARSITEKTUR

PERKEMBANGAN BANGUNAN GEDUNG LAWANGSEWU




Nama Gedung             :           Lawang Sewu

Alamat                        :           Jalan Pemuda, Sekayu, Semarang Tengah, Sekayu,

Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, 50132

Tahun Pembangunan   :           1904-1907

Arsitek                         :           -   Jacob F. Klinkhamer (TH Delft)

-       B.J. Quendag dari Amsterdam

Fungsi Awal                :           Kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS

Fungsi Saat Ini            :           Dikelola PT.KAI & Wisata Sejarah Kota Semarang

Klasifikasi Pemugaran:           Juni, 2011

Langgam                     :           Art Deco

 

Sejarah Gedung Lawang Sewu

Lawang Sewu dalam Bahasa Indonesia memiliki arti “Seribu Pintu”. Sebutan sewu (seribu dalam bahasa Jawa), merupakan penggambaran masyarakat Semarang tentang banyaknya jumlah pintu yang dimiliki Lawang Sewu, meski dalam kenyataannya jumlah pintu yang ada tidak mencapai seribu, namun lebih tepatnya 429 buah lubang pintu. Namun Lawang Sewu memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar yang membuat jendela tersebut nampak seperti pintu. Sejarah gedung ini tak lepas dari sejarah perkeretaapian di indonesia karena dibangun sebagai Het Hoofdkantoor Van de NederlandschIndische Spoorweg Maatscappij (NIS) yaitu kantor pusat NIS, perusahaan kereta api swasta di masa pemerintahan Hindia belanda yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia menghubungkan Semarang dengan “Vorstenlanden” (Surakarta dan Yogyakarta) dengan jalur pertamanya Jalur Semarang Temanggung  1867.

Awalnya administrasi NIS diselenggarakan di Stasiun Semarang NIS, pertumbuhan jaringan yang pesat diikuti bertambahnya kebutuhan ruang kerja sehingga diputuskan membangun kantor administrasi di lokasi baru. Pilihan jatuh pada lahan di pinggir kota dekat kediaman Residen Hindia Belanda, di ujung selatan Bodjongweg Semarang. Direksi NIS menyerahkan perencanaan gedung ini kepada Prof Jacob F Klinkhamer dan B.J Ouendag, arsitek dari Amsterdam Belanda. Pelaksanaan pembangunan dimulai 27 Februari 1904 dan selesai 1907. Kondisi tanah di jalan harus mengalami perbaikan terlebih dahulu dengan penggalian sedalam 4 meter dan diganti dengan lapisan vulkanis. Bangunan pertama yang dikerjakan adalah rumah penjaga dan bangunan percetakan, dilanjutkan dengan bangunan utama. Setelah dipergunakan beberapa tahun, perluasan kantor dilaksanakan dengan membuat bangunan tambahan pada tahun 1916 – 1918.

Pada tahun 1873 rel kereta api pertama di Hindia Belanda selesai dibangun, jalan itu dibangun oleh Nederlandsch Indische Spoorweg maatschappij (NIS), suatu perusahaan swasta yang mendapat konsesi dari pemerintah kolonial untuk menghubungkan daerah pertanian yang subur di Jawa Tengah dengan kota pelabuhan Semarang (Durrant, 1972). Stasiun di Semarang yang berada di tambaksari tidak jauh dari pelabuhan. Pada peralihan abad ke-20 NIS membangun stasiun stasiun baru yang besar. Pada tahun 1914 stasiun Tambaksari digantikan oleh Stasiun Tawang. Sebelumnya pada tahun 1908 selesai dibangun pula kantor pusat NIS yang baru, bangunan itu berada di ujung jalan Bodjong, di Wilhelmina Plein berseberangan dengan kediaman gubernur. Kantor pusat NIS yang baru itu adalah bangunan besar 3 lantai berbentuk “L” yang dirancang oleh J.F Klinkhamer dan Ouendag dalam gaya Renaissance Revival (Sudrajat,1991). Menurut Sudrajat pembangunan kantor pusat NIS di Semarang adalah tipikal 2 dasawarsa awal abad 20 ketika diperkenalkan politik etis.


 
Fungsi Lawang Sewu dari Masa ke Masa

            Bangunan Lawang Sewu yang merupakan salah satu landmark kota Semarang ini memiliki perjalnan sejarah yang panjang. Fungsi dari Bangunan Lawang Sewu mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan berubahnya penguasa di Indonesia, dimana perubahan fungsi tersebut juga mengakibatkan perubahan pandangan masyarakat terhadap keberadaan Bangunan Lawang Sewu. Selain beberapa kali mengalami perubahan, Bangunan Lawang Sewu juga merupakan saksi bisu dari perjalanan sejarah. Bangunan Lawang Sewu tidak dapat dipisahkan dari sejarah Perkeretaapian di Indonesia. Bangunan ini juga menjadi saksi saat terjadi Pertempuran Lima Hari di Semarang.

            Pada masa pendudukan Belanda, sejak tahun 1907 Bangunan Lawang Sewu digunakan sebagai Kantor Pusat Administrasi NIS, yakni untuk mengurusi Perkeretaapian yang dikelola oleh NIS. Namun fungsi Bangunan Lawang Sewu berubah setelah kedatangan Jepang di Indonesia. Pada 1 Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di Pulau Jawa dan tidak mendapat perlawanan berarti dari pasukan Belanda. Pada 8 Maret 1942, Belanda resmi menyerahkan kakuasaan atas Hindia Belanda kepada Jepang. Semarang merupakan kota penting yang berfungsi untuk mengangkut berbagai hasil bumi dari daerah pedalaman Jawa Tengah untuk kemudian menggunakan kereta menuju pelabuhan Semarang. Pada saat Jepang menguasai Semarang, mereka mengambil alih Lawang Sewu sebagai kantor pusat perkeretaapian di Semarang. Seluruh perusahaan kereta api di Indonesia disatukan di bawah pengawasan angkatan darat Jepang.

            Menurut arsip Museum Lawang Sewu dan fisik bangunan yang masih ada hingga sekarang, selama menduduki gedung, Jepang melakukan beberapa modifikasi terhadap gedung Lawang Sewu. Modifikasi ini dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan Jepang yang menjadikan Lawang Sewu sebagai penjara. Ruang bawah tanah Lawang Sewu yang memiliki tinggi ruangan sekitar 2 meter. Pada zaman Belanda, ruang bawah tanah ini dipenuhi air. Pada saat dikuasai Jepang, air yang ada di ruang bawah tanah dikurangi. Setelah mengurangi volume air pada ruang bawah tanah, Jepang menambahkan beberapa penjara jongkok yang berupa sekat berpetak-petak di ruang bawah tanah. Petak-petak ini berukuran 2x3 meter. Petak-petak ini sudah ada sejak zaman Belanda, dan Jepang hanya menambahkan trails besi pada petak-petak ini agar tidak ada tahanan yang bisa berdiri. satu petak ini bisa diisi oleh 5-6 orang dewasa yang berada dalam kondisi jongkok. Petak ini diisi oleh air sehingga tahanan yang berada di dalamnya terendam sampai sebatas kepala.

Sumber : Wikipedia


Sejarah gedung ini tak lepas dari sejarah perkeretaapian di indonesia karena dibangun sebagai Het Hoofdkantoor Van de NederlandschIndische Spoorweg Maatscappij (NIS) yaitu kantor pusat NIS, perusahaan kereta api swasta di masa pemerintahan Hindia belanda yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia menghubungkan Semarang dengan “Vorstenlanden” (Surakarta dan Yogyakarta) dengan jalur pertamanya Jalur Semarang Temanggung 1867. Awalnya administrasi NIS diselenggarakan di Stasiun Semarang NIS. Pertumbuhan jaringan yang pesat diikuti bertambahnya kebutuhan ruang kerja sehingga diputuskan membangun kantor administrasi di lokasi baru. Pilihan jatuh pada lahan di pinggir kota dekat kediaman Residen Hindia Belanda, di ujung selatan Bodjongweg Semarang. Direksi NOS menyerahkan perencanaan gedung ini kepada Prof Jacob F Klinkhamer dan B.J Ouendag, arsitek dari Amsterdam Belanda.

Pelaksanaan pambangunan dimulai 27 Februari 1904 & selesai 1907, kondisi tanah di jalan harus mengalami perbaikan terlebih dahulu dengan penggalian sedalam 4 meter dan diganti dengan lapisan vulkanis. Bangunan pertama yang dikerjakan adalah rumah penjaga dan bangunan percetakan, dilanjutkan dengan bangunan utama. Setelah dipergunakan beberapa tahun, perluasan kantor dilaksanakan dengan membuat bangunan tambahan pada tahun 1916 – 1918.Pemugaran Bangunan Lawang Sewu memakan waktu cukup lama, akhirnya selesai pada akhir Juni 2011 dan kembali dibuka untuk umum pada 5 Juli 2011 diresmikan oleh Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono. Selain memiliki perjalanan panjang, Bangunan Lawang Sewu juga merupakan saksi bisu dari perjalanan sejarah bangsa. Keberadaan Lawang Sewu merupakan cikal bakal adaya Kereta Api di Indonesia. Bangunan Lawang Sewu juga merupakan saksi sejarah perjalanan penjajahan kolonial sampai Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Dalam perkembangannya sekarang, banyak hal yang dilakukan untuk membuat Bangunan Lawang Sewu menjadi lebih baik. mulai rencana dialih fungsikan sebagai hotel, kantor dan pelayanan pembelian tiket PT.KAI, exibition room yang dilengkapi pertokoan, galeri foto, ruang converensi, sentra industri kreatif sampai rencana penggunaan sebagai museum kerata api bahkan sebagai multy use building, menunjukkan belum adanya suatu konsep pengalih fungsian yang jelas, baik dari PT.KAI sebagai pemilik dan pemerintah Kota Semarang sebagai pemangku wilayah dimana bangunan Lawang Sewu berada.

SUMBER






Wikipedia.com