Pokok bahasan
Kaitan agama dengan masyarakat banyak
dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur
nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan
hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada pendapat
bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama
yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan
sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana
pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan
masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat penuh
dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada
hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak terlembaganya
agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial
dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya
solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive
dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau
tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama
yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
1.1. Fungsi Agama
Ada tiga aspek penting yang selalu
dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan,
sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena
sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga
timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah
lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama
dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan
tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan
mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut berbagai
nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak
dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh
sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang bertindak,
berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama
sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama,
sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab
kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak
menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala
sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga
memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar
dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia
hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan
kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua,
kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya
adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi
lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia
harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai
fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis memandang
agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme
penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan
masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha
sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu
sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa
mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk
membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan
kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi
adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai
bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan
dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa
karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi
penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara
anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial
yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu
adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem
nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat.
Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang
tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan
agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai
tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah
secara teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme agama dapat
dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson (1984),
dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi keyakinan mengandug perkiraan
atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis
tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan
seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia,
berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman memperhitungkan
fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang
benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung
dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu
perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan
perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi
tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan
tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari komitmen
religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra
pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah
masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan
efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang
bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan
yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu
memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam
pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi
mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman
keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam
kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan
masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa
adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
1.2. Pelembagaan Agama
Agama sangat universal, permanen, dan
mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit
memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama
adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan
struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan
pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan
dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil
atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat
diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954),
kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan
Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi,
dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu,
keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama.
Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral
ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
Nilai agama sering meningkatkan
konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi
fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang
berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang
Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam
tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular
masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara
tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap
aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan
penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang
sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam
tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan
agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia
(transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah
keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak
rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya
memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu
selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai.
Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial,
merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan
meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan
untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan
pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang
akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian
figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu
adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman
agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal
yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab
lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran
wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa
peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai
asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya
organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari
terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim
a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a,
Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada
peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah,
kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri,
dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam
untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu
tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir
dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf
(singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan
dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu
peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail
a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat,
Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya.
Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir
dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak
tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan,
memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu,
dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa
dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah,
perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah
haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang
diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk
menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan
sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut.
Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal.
Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan
melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih oleh
Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan.
Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu
bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang kafir
(terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan
sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut, esensinya
adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting.
Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”,
“ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara
khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi
keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial
Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran
Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi
kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah,
Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan
dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga
keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan),
dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya
terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat
organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat
adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan
masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan
sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut
mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan
1.3
Agama,
Konflik, Masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat agama
adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam
hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M.
Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi
berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian
yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut
Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena
manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia
menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi
mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang
mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas,
karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya
religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat
Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap
kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah)
memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral
masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau
demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di
Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu
sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan
ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang
kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan
bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan
mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan
nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan
politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan
yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian
menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan
keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM
dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah
dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan
kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan
beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan
analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis
sosiologis: teori konflik.
Konflik yang ada dalam Agama dan
Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas
masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama
terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan,
kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil
saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan
berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat
Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap
kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah)
memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral
masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau
demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia,
yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga
kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan
ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui
bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat
perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan
nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan
politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan
yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian
menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan
kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial
bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah
dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan
kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan
beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan
analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis
sosiologis: teori konflik.
Definisi
:
Agama
dalam masyarakat bersangkut paut sangat erat dan dekat, karna agama adalah
salah satu pegangan/pondasi jalan hidup bagi umat pemeluk dan pemercayanya.
Agama pun sangat berfungsi bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan, contoh
agama ISLAM.
Agama
ISLAM mempunyai kitab suci yaitu AL-QUR'AN. Didalamnya terdapat anjuran-anjuran
dan sifat-sifat baik untuk kehidupan manusia, itu semua pasti benar dan tidak
satupun ada yang salah pada dalam isi AL-QUR'AN. Sedangkan manusia, pasti
membutuhkan agama yg dia percayai.
Karna
kepercayaan kepada agama tersebutlah manusia dapat memperoleh
anutan/kepercayaan untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Semua agama pun
pasti terdapat isi yang menjelaskan bahwa didunia ini kita "MANUSIA''
harus hidup saling rukun,damai, dan sejahtera. Itu semua diatur oleh Tuhan YME
agar umat manusia dapat hidup berdampingan satu dengan yang lain walalupun
berbeda-beda agama,ras,suku budaya,bahasa maupun warna kulit.
Sekian
terimakasih.
SUMBER
: karinarisaf.blogspot
nathaniaseptavy.wordpress
Pengalaman Positif saya yang dengan bertemakan “Agama
dan Masyarakat” adalah :
Pada saat Bulan Suci Ramadhan berakhir dan
tibalah perayaan Hari Raya IDUL FITRI. Kami sebagai umat muslim merayakannya dengan penuh rasa bahagia karna dapat
merasakan kembali suasana Bulan Suci Ramadhan dan IDUL
FITRI yang penuh makna. Tetapi dilingkungan rumah saya dan disekitarnya
tidak hanya umat muslim yang merayakan Bulan Suci Ramadhan dan Hari
Raya IDUL FITRI tersebut, bahkan umat non muslim yang saya beri
contoh yaitu Kristen prostestan dan khatolik. Mereka juga ikut
merayakan hari kebesaran umat muslim dengan cara yang tidak sama atau berbeda
dengan umat muslim, umat muslim merayakan Bulan Suci Ramadhan dan Hari
Raya IDUL FITRI dengan apa yang sudah dianjurkan Nabi Muhammad SAW dan
sudah tercantum didalam kitab suci AL-QUR’AN. Sedangkan umat non muslim
mereka ikut merayakan Bulan Suci Ramadhan dan Hari
Raya IDUL FITRI dengan cara menghargai para umat muslim yang sedang
melaksanakan ibadah puasa di Bulan Suci Ramadhan dengan tidak
berbuat semaunya yang dapat membatalkan ibadah puasa para umat muslim. Pada
saat Hari
Raya IDUL FITRI umat non muslim juga tidak berdiam diri begitu saja,
mereka mendatangi sebagian rumah para warga umat muslim untuk memberikan dan
menyatakan “Selamat Hari Raya IDUL FITRI’’, tidak kurang dengan doa mereka
“semoga
berkah dan bahagia selalu”.
Begitu pula dengan perayaan Natal yaitu hari
kebesaran umat Kristiani, kami sebagai umat muslim yang sangat menjunjung
tinggi rasa saling menghormati mendatangi sebagian rumah para warga Kristiani
untuk memberikan dan menyatakan “Selamat Natal” dan kami juga
mendoakan segala yang terbaik untuk kita semua. Sekian dari pengalaman positif
saya tentang “Agama dan Masyarakat”
Pengalaman Positif tambahan :
1. Mengadakan
pengajian rutin tiap-tiap sektor
2. Mengadakan
kerja bakti rutin setiap hari Minggu
3. Mengikuti
aktifitas yang diselenggarakan pemuda masjid
4. Ikut
serta dalam menjaga segala kepentingan beragama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar